ABORTUS (keguguran)

Kamis, 30 Mei 2013

0 komentar
ABORTUS
Ada beberapa faktor yang merupakan predisposisi terjadinya abortus, misalnya faktor paritas dan ibu, mempunyai pengaruh besar. Risiko abortus semakin dengan bertambahnya paritas dan semakin bertambahnya usia ibu dan ayah ( Cunningham, 2000). Riwayat abortus pada penderita abortus nampaknya juga merupakan predisposisi terjadinya abortus berulang. Kemungkinan terjadinya abortus berulang pada seorang wanita yang mengalami abortus tiga kali atau lebih adalah 83,6 % (Prawirohardjo dan Wiknjosastro, 2000)

Selain beberapa faktor diatas, penyakit ibu seperti pneumonia, typhus abdominalis, pielonefritis, malaria dan lain-lain dapat menyebabkan abortus. Begitu pula dengan penyakit-penyakit infeksi lain juga memperbesar peluang terjadinya abortus.

Definisi

Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin mampu hidup luar kandungan. Batasan abortus adalah umur kehamilan kurang dari 20 minggu dan berat janin kurang dari 500 gram ( Greenhill, 1965). Sedang menurut WHO /FIGO (1998) adalah jika kehamilan kurang dari 22 minggu, bila berat janin tidak diketahui. Di Indonesia umumnya batasan untuk abortus adalah sesuai dengan definisi Greenhill yaitu jika umur kehamilan kurang dari 20 minggu dan berat janin kurang dari 500 gram. Abortus spontan dibagi menjadi abortus awal dan abortus yang terlambat. Abortus awal terjadi sebelum usia kehamilan mencapai 12 minggu. Abortus yang terlambat terjadi pada usia kehamilan 12 sampai 20 minggu (Gilbert dan Harmon,2003).

Frekuensi dan Rekurensi

Frekuensi abortus sukar ditentukan karena abortus buatan banyak tidak dilaporkan, kecuali apabila terjadi komplikasi, juga karena sebagian abortus hanya disertai gejala dan tanda ringan, sehingga pertolongan medik tidak diperlukan dan kejadian ini dianggap haid yang terlambat. Diperkirakan frekuensi abortus spontan berkisar antara 10 dan 15 % (Prawirohardjo dan Wiknjosastro, 2000).

Rekurensi terjadinya abortus sebanyak 20 % jika terdapat riwayat 1 kali abortus spontan sebelumnya, 35 % jika terdapat riwayat 2 kali abortus spontan sebelumnya, 50 % jika terdapat riwayat 3 abortus spontan sebelumnya, dan 30 % jika terdapat riwayat 3 kali abortus spontan sebelumnya dan telah 1 kali mengalami partus spontan ( Naylor, 2005)

Etiologi

Lebih dari 80 % abortus terjadi dalam 12 minggu pertama kehamilan dan angka tersebut kemudian menurun secara cepat ( Cunningham dkk., 2000). Penelitian menunjukkan bahwa hampir 60 % abortus awal (sebelum 12 minggu pertama kehamilan) memiliki abnormalitas kromosom (Gilbert dan Harmon, 2003).

Menurut Siegler dan Eastman, abortus terjadi pada 10% kehamilan. Rumah Sakit Pirngadi Medan juga mendapati angka 10 % dari seluruh kehamilan. Menurut Eastman, 80% abortus terjadi pada bulan ke 2-3 kehamilan, sementara Simens mendapatkan angka 76 % ( Mochtar,1998)

Anomali kromosom menyebabkan sekurang-kurangnya separuh dari abortus dini ini, dan kemudian secara pasti dan cepat angka ini akan menurun. Risiko abortus spontan kelihatannya semakin meningkat dengan bertambahnya paritas disamping dengan semakin lanjutnya usia ibu serta ayah (Cunningham dkk.,2000). Frekuensi abortus yang dikenali secara klinis bertambah dari 12 % pada wanita yang berusia kurang dari 20 tahun, menjadi 26 % pada wanita berumur diatas 40 tahun. Insiden abortus bertambah jika kandungan wanita tersebut melebihi umur 3 bulan (Cunningham dkk.,2000).

Pada kehamilan muda, abortus tidak jarang didahului oleh kematian mudigah. Sebaliknya, pada kehamilan lebih lanjut biasanya janin dikeluarkan dalam keadaan masih hidup (Wibowo dan Wiknjosastro,1999). Mekanisme pasti yang bertanggung jawab atas peristiwa abortus tidak tampak jelas, tetapi dalam beberapa bulan kehamilan, ekspulsi ovum yang terjadi secara spontan hampir selalu didahului kematian embrio atau janin. Dengan alasan tersebut, pertimbangan untuk menentukan etiologi abortus dini harus melibatkan kepastian mengenai penyebab kematian janin. Dalam beberapa bulan kehamilan berikutnya, sering ditemukan sebelum ekspulsi masih hidup dalam uterus (Cunningham dkk.,2000).

Hal-hal yang dapat menyebabkan abortus, dikelompokkan menjadi 3 faktor yaitu :

1. Faktor fetal
Penemuan morfologis yang paling sering terjadi dalam abortus dini spontan adalah abnormalitas dalam perkembangan zigot, embrio fase awal janin, atau kadang-kadang plasenta. Perkembangan janin yang abnormal, khususnya dalam trimester pertama kehamilan, dapat diklasifikasikan menjadi perkembangan janin dengan kromosom yang jumlahnya abnormal (aneuploidi) atau perkembangan janin dengan komponen kromosom yang normal (euploidi).

Abnormalitas kromosom sering terjadi di antara embrio dan janin fase awal yang mengalami abortus spontan serta menjadi sejumlah besar atau sebagian besar kehamilan awal yang sia-sia. Penelitian menyebutkan bahwa 50 – 60 % dari abortus dini spontan berhubungan dengan anomali kromosom pada saat konsepsi.

Menurut Hertig dkk pertumbuhan abnormal dari fetus sering menyebabkan abortus spontan. Menurut penyelidikan mereka, dari 1000 abortus spontan, maka 48,9 % disebabkan oleh ovum yang patologis (Mochtar,1998).

Hasil konsepsi dengan kromosom normal yang mengalami abortus biasanya akan menghilang belakangan dalam kehamilan. Laporan menyatakan bahwa ¾ abortus an euploidi terjadi pada atau sebelum kehamilan 8 minggu, sedangkan abortus euploidi mencapai puncaknya sekitar 13 minggu (Cunningham,2000). Insiden abortus euploidi akan meningkat secara dramatis setelah usia maternal 35 tahun. Namun sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut belum diketahui secara pasti. Dua keadaan yang mungkin menjadi penyebab terjadinya abortus diatas : (1) abnormalitas genetik (2) sejumlah kasus maternal (Cunningham dkk.,2000).

2. Faktor maternal
Penyakit maternal berkaitan dengan abortus euploidi. Peristiwa abortus tersebut mencapai puncaknya pada kehamilan 13 minggu (Cunningham dkk.,2000).

Keadaan yang menjadi faktor penyebab adalah :
1) Infeksi
Beberapa infeksi kronis pernah terlibat atau sangat dicurigai sebagai penyebab abortus, diantaranya Listeria monocytogenes dan Toxoplasma.

2) Pengaruh endokrin
Kenaikan insiden abortus bisa disebabkan oleh hipertiroidisme, diabetes mellitus, dan defisiensi progesteron. Defisiensi progesteron karena kurangnya sekresi hormon tersebut dari korpus luteum atau plasenta, mempunyai kaitan dengan insiden abortus. Karena progesteron berfungsi mempertahankan desidua, defisiensi hormon tersebut secara teoritis akan mengganggu nutrisi pada hasil konsepsi dan berperan dalam peristiwa kematian janin.

3) Faktor imunologis
Ada dua mekanisme utama pada abnormalitas imunologis yang berhubungan dengan abortus, yaitu : mekanisme alloimun dan mekanisme autoimun. Mekanisme autoimun adalah mekanisme timbulnya reaksi seluler atau humoral yang ditujukan kepada suatu lokasi spesifik dalam tubuh hospes. Alogenitas digunakan untuk menjelaskan ketidaksamaan genetik antar binatang dari spesies yang sama. Janin manusia merupakan cangkokan alogenik yang diterima dengan baik oleh tubuh ibu berdasarkan alasan yang tidak diketahui secara lengkap. Beberapa mekanisme imunologi dilaporkan bekerja untuk mencegah penolakan janin. Mekanisme tersebut mencakup faktor histokompatibilitas, faktor penghambat sirkulasi, faktor supressor lokal dan antibodi antileukositotoksik maternal atau anti paternal. Tidak adanya atau tidak disintesisnya salah satu faktor diatas oleh tubuh ibu menyebabkan terjadinya reaksi imun maternal abnormal yang berbalik melawan antigen dalam plasenta atau dalam jaringan janin lainnya dan mengakibatkan abortus.

4) Gamet yang menua
Baik umur sperma atau ovum dapat mempengaruhi angka insiden abortus spontan. Gamet yang bertambah tua dalam traktus genitalis wanita sebelum fertilisasi, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus.

5) Kelainan traktus genitalis
Retroversio uteri, myoma uteri, atau kelainan-kelainan bawaan uterus dapat menyebabkan abortus, tetapi hanya retroversio uteri gravidi incarserata atau myoma submukosa yang memegang peranan penting (Prawirohardjo dan Wiknjosastro, 2000).

3. Faktor paternal
Hanya sedikit yang diketahui tentang peranan faktor paternal dalam proses timbulnya abortus spontan. Translokasi kromosom dalam sperma dapat menimbulkan zigot yang mendapat bahan kromosom terlalu sedikit atau terlalu banyak, sehingga terjadi abortus (Cunningham,2000).

Patologi

Abortus biasanya disertai dengan pendarahan didalam desidua basalis dan perubahan nekrotik di dalam jaringan-jaringan yang berdekatan dengan tempat perdarahan. Hal tersebut menyebabkan ovum dapat terlepas seluruhnya atau sebagian dan mungkin menjadi benda asing dalam uterus, sehingga merangsang kontraksi uterus dan mengakibatkan pengeluaran janin.

Sebelum minggu kesepuluh, hasil konsepsi biasanya akan dikeluarkan lengkap. Hal ini disebabkan karena villi koriales belum menanamkan diri dengan erat kedalam desidua, hingga hasil konsepsi mudah lepas. Pada kehamilan antara 8 sampai 14 minggu villi koriales menembus desidua lebih dalam, sehingga umumnya plasenta tidak dilepaskan secara sempurna yang dapat menyebabkan banyak pedarahan. Pada kehamilan 14 minggu keatas, umumnya mula-mula dikeluarkan setelah ketuban pecah adalah janin, disusul beberapa waktu kemudian oleh plasenta yang lengkap terbentuk. Perdarahan tidak banyak jika plasenta segera terlepas dengan lengkap (Wibowo dan Wiknjosastro,1999).

Hasil konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuk. Adakalanya kantong amnion kosong atau tampak didalamnya benda kecil tanpa bentuk yang jelas (blighted ovum), mungkin pula janin lahir mati atau dilahirkan hidup.

Klasifikasi

Berdasarkan jenis tindakan yang dilakukan, abortus dibedakan menjadi 2 golongan yaitu:

1. Abortus spontan
Yaitu abortus yang terjadi tanpa tindakan dan terjadi dengan sendirinya (Wibowo dan Wiknjosastro,1999). Jenis abortus spontan merupakan 20 % dari semua abortus (Anonim,1981).

2. Abortus provokatus
Yaitu abortus yang terjadi akibat tindakan atau disengaja. Merupakan 80 % dari semua kasus abortus (Anonim,1981).

Abortus provokatus dibedakan menjadi 2, yaitu:
a. Abortus provokatus therapeutik
Adalah abortus provokatus atas indikasi medik yaitu kehamilan yang dapat membahayakan jiwa ibu, misalnya karena pasien menderita penyakit jantung yang berat (Anonim,1981). Adalah peristiwa pengakhiran kehamilan karena penyakit atau kelainan yang serius pada ibu dan jika kehamilan dilanjutkan akan membahayakan jiwa ibu (Eastman,1956).

b. Abortus provokatus kriminalis
adalah abortus provokatus tanpa ada alasan medis yang sah dan dilarang oleh hukum.

Berdasarkan gambaran klinik, abortus dibedakan menjadi 5 golongan, yaitu :
1) Abortus imminens
Abortus imminens ialah peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu, sedang hasil konsepsi masih dalam uterus tanpa adanya dilatasi serviks (Wibowo dan Wiknjosastro,1999).

Diagnosis abortus imminens diduga bila perdarahan berasal dari intrauteri muncul selama pertengahan pertama kehamilan, dengan atau tanpa kolik uterus, tanpa pengeluaran hasil konsepsi dan tanpa dilatasi serviks. Menurut Taber (1994), umumnya kira-kira 50 % wanita dengan gejala abortus imminens kehilangan kehamilannya, persentase kecil lahir prematur dan lainnya berlanjut ke kelahiran cukup bulan.

2) Abortus insipiens
Abortus insipiens ialah peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan kurang dari 20 minggu dengan adanya dilatasi serviks yang meningkat, tetapi hasil konsepsi masih dalam uterus. Dalam hal ini rasa mules menjadi lebih sering dan kuat, perdarahan bertambah (Wibowo dan Wiknjosastro,1999).

Ciri : perdarahan pervaginam, dengan kontraksi makin lama makin kuat dan sering, serviks terbuka

3) Abortus inkompletus
Abortus inkompletus adalah pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus. Perdarahan abortus ini dapat banyak sekali, sehingga dapat menyebabkan perdarahan banyak dan tidak berhenti sebelum hasil konsepsi dikeluarkan.

Ciri : perdarahan yang banyak, disertai kontraksi,serviks terbuka, sebagian jaringan keluar.

4) Abortus kompletus
Abortus kompletus terjadi dimana semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan. Pada penderita ditemukan perdarahan sedikit,ostium uteri sebagian besar telah menutup, dan uterus sudah banyak mengecil.

Ciri : perdarahan pervaginam, kontraksi uterus, ostium serviks menutup, ada keluar jaringan, tidak ada sisa dalam uterus.

5) Missed abortion
Missed abortion adalah kematian janin sebelum usia 20 minggu, tetapi janin mati itu tidak dikeluarkan selama 8 minggu atau lebih (Wibowo dan Wiknjosastro,1999). Setelah retensi yang lama dari hasil konsepsi yang mati, dapat terjadi kelainan pembekuan darah yang serius, khususnya bila kehamilan telah mencapai trimester kedua sebelum janin mati (Cunningham dkk.,2000).

6) Abortus habitualis
Definisi abortus spontan yang berkali-kali (habitualis) telah dibuat berdasarkan berbagai kriteria jumlah dan urutannya, tapi definisi yang paling mungkin diterima saat ini adalah abortus spontan yang terjadi berturut-turut tiga kali atau lebih (Cunningham dkk.,2000)

Menurut Hertig abortus spontan terjadi dalam 10 % dari kehamilan dan abortus habitualis 3,6 – 9,8 % dari abortus spontan.

Etiologi :
(1) Kelainan ovum atau spermatozoa, dimana bila terjadi pembuahan hasilnya adalah pembuahan yang patologis
(2) Kesalahan-kesalahan pada ibu, yaitu disfungsi tiroid, korpus luteum, kesalahan plasenta yaitu tidak sanggupnya plasenta menghasilkan progesteron sesudah korpus luteum atrofis, kelainan anatomis, hipertensi dan keadaan malnutrisi.

Manifestasi Klinis
* Terlambat haid atau amenore kurang dari 20 minggu
* Perdarahan pervaginam, mungkin disertai keluarnya jaringan hasil konsepsi
* Rasa mulas atau kram perut di daerah simfisis, sering disertai nyeri pinggang akibat kontraksi uterus
* Pemeriksaan ginekologi :
a. Inspeksi vulva : perdarahan pervaginam, ada/tidak jaringan hasil konsepsi, tercium atau tidak bau busuk dari vagina
b. Inspekulo: perdarahan dari cavum uteri, ostium uteri terbuka atau sudah tertutup,ada/tidak jaringan keluar dari ostium, ada/tidak jaringan berbau busuk dari ostium
c. Vaginal toucher : porsio masih terbuka atau sudah tertutup, teraba atau tidak jaringan dalam cavum uteri, besar uterus sesuai atau lebih kecil dari usia kehamilan, tidak nyeri saat portio digoyang, tidak nyeri pada perabaan adneksa, cavum douglasi tidak menonjol dan tidak nyeri

Pemeriksaan Penunjang

* Tes Kehamilan : positif bila janin masih hidup, bahkan 2-3 minggu setelah abortus
* Pemeriksaan Doppler atau USG untuk menentukan apakah janin masih hidup
* Pemeriksaan kadar fibrinogen darah pada missed abortion

Penatalaksanaan

1. Abortus imminens
· Istirahat baring agar aliran darah ke uterus bertambah dan rangsang mekanik berkurang
· Periksa denyut nadi dan suhu badan dua kali sehari
· Tes kehamilan dan pemeriksaan USG untuk menentukan keadaan janin
· Berikan obat-obat hormonal dan antispasmodika
· Berikan obat penenang dan preparat hematinik
· Diet tinggi protein dan tambahan vitamin C

2. Abortus Insipiens
· Bila perdarahan tidak banyak tunggu terjadinya abortus spontan tanpa pertolongan selama 36 jam
· Pada kehamilan <> 12 minggu, berikan infus oksitosin 10 IU dalam RL 500 ml dimulai 8 tetes/menit dan naikkan sesuai kontraksi uterus sampai terjadi abortus komplet.
· Bila janin sudah keluar tetapi plasenta masih tertinggal, lakukan pengeluaran plasenta secara manual

3. Abortus Inkomplit
· Bila disertai syok karena perdarahan, berikan infus cairan NaCl fisiologis atau RL dan selekas mungkin ditransfusi darah
· Setelah syok teratasi, lakukan kerokan dengan kuret tajam lalu suntikkan ergometrin 0,2 mg IM
· Bila janin sudah keluar tetapi plasenta masih tertinggal,lakukan pengeluaran plasenta secara manual
· Berikan antibiotik untuk mencegah infeksi

4. Abortus komplit
· Bila kondisi pasien baik, berikan ergometrin 3 x 1 tablet selama 3-5 hari
· Bila pasien anemia berikan hematinik
· Berikan antibiotik untuk mencegah infeksi
· Anjurkan pasien untuk diet tinggi protein,vitamin dan mineral

5. Missed abortion
· Bila kadar fibrinogen normal, segera keluarkan hasil konsepsi dengan cunam ovum lalu dengan kuret tajam
· Bila kadar fibrinogen rendah, berikan fibrinogen kering atau segar sesaat sebelum atau ketika mengeluarkan hasil konsepsi
· Pada kehamilan <> 12 minggu, berikan dietilstilbestrol 3x5 mg lalu infus oksitosin 10 IU dalam RL 500 ml mulai 20 tetes/menit dan naikkan dosis sampai ada kontraksi uterus

Komplikasi abortus

Komplikasi dari abortus sering terjadi pada abortus kriminalis walaupun tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada abortus spontan. Komplikasi dini yang paling sering adalah sepsis yang disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap, sebagian atau seluruh produk pembuahan masih tertanam dalam uterus. Jika infeksi tidak diatasi, dapat terjadi infeksi yang menyeluruh sehingga menimbulkan aborsi septik, yang merupakan komplikasi aborsi ilegal yang paling fatal. Jika abortsi septik disebabkan oleh mikroorganisme yang sangat virulen dan dibiarkan tidak diatasi, pasien dapat mengalami syok septik.

Komplikasi kedua setelah sepsis yang paling sering dilaporkan adalah perdarahan. Perdarahan dapat disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap atau cedera organ panggul. Kematian umumnya disebabkan oleh tidak tersedianya darah dan fasilitas rumah sakit yang memadai.

Komplikasi aborsi yang secara potensial fatal adalah bendungan sistem kardiovaskuler oleh bekuan darah, gelembung udara, atau cairan; gangguan mekanisme pembekuan darah yang hebat (DIC) yang disebabkan oleh infeksi yang berat. Bagi mereka yang luput dari komplilkasi awal abortus yang dilakukan oleh tenaga yang kurang terlatih mungkin mengalami efek samping jangka panjang yang lama. Misalnya, ineksi dapat menimbulkan kerusakan permanen di tuba falopii yang dapat menyebabkan kemandulan.

DAFTAR PUSTAKA

Andrianto, I., 1998, Karakteristik Pasien Abortus di RSUD Genteng Kab. Banyuwangi Selama tahun 1997 ( Karya Tulis Ilmiah), Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Benzion, T., 1994, Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri & Ginekologi, EGC, Jakarta, pp 56 – 76.

Anonym, 1981, Obstetri Patologi, Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Bandung

Cunningham, G.F., MacDonald, P.C., Gant, N.F., & Ronardy, D.H.,(eds), 2000, Abortus, Suyono,J., dan Hartono, A.,(alih bahasa), Obstetri Williams, EGC, Jakarta (edisi 20)

Delee, J.B., 1938, The Principles And Practise Of Obstetric, W.B. Saunders Company, Philadelphia and London (7th ed)

Eastman, N.J., 1956, William Obstetrics, Apleton – Century – Crofts, New york (11th ed.)

Greenhill, J.P., 1965, Obstetrics, W.B Saunders Company, Philadelphia and London (13th ed), pp 432-450

Harlap S, Shiono P.H., Ramcharan S.: A life table of spontaneous abortions and the effect of age, parity, and other variables. In porter IH, Hook EB (eds): Human Embrionic and Fetal Death. New York, Academic,1980, p 145

Mochtar, R., 1998, Sinopsis Obstetri, Jilid 1, Lutan, D. (Eds), EGC, Jakarta

Wibowo, B., & Wiknjosastro, G.H., 1994, kelainan Lamanya Kehamilan, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta pp 302-320.

“ Fakta dan Angka Kehamilan Yang Tidak Direncanakan oleh Prof. Dr. H.A. Moeloek dan Prof.Dr.I.B. Tjitarsa”, Desember 1996, PKBI-Jogya, http://www.pkbi-jogja.org/artikel/kesrep-011 html

KEJANG PADA ANAK

Kamis, 16 Agustus 2012

4 komentar

KEJANG PADA ANAK

Definisi
Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan atau otonom yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron otak. Keadaan tersebut adalah keadaan darurat. Kejang dapat bersifat sederhana dan berhenti sendiri atau memerlukan pengobatan. Namun, tidak jarang kejang berlangsung lebih dari 30 menit dan cenderung menjadi status epileptikus.
Status epileptikus sendiri adalah kejang yang terjadi lebih dari 30 menit atau kejang berulang lebih dari 30 menit tanpa disertai pemulihan kesadaran. Peningkatan aktivitas neuron pada saat kejang diduga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
  1. Kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan muatan listrik yang berlebihan.
  2. Berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat (GABA).
  3. Meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat melalui jalur eksitasi yang berulang
Etiologi
Hal pertama yang harus dikuasai saat menghadapi anak kejang adalah memastikan apakah keadaan tersebut adalah kejang atau bukan. Kemudian melakukan identifikasi kemungkinan penyebab kejang Adapaun beberapa penyebab kejang adalah sebagai berikut:
  1. Kejang demam
  2. Infeksi: meningitis, ensefalitis
  3. Gangguan metabolik: hipoglikemia, hiponatremia, hipoksemia,
  4. Hipokalsemia, gangguan elektrolit, defisiensi piridoksin, gagal ginjal, gagal hati, gangguan metabolik bawaan
  5. Trauma kepala
  6. Keracunan: alkohol, teofilin
  7. Penghentian obat anti epilepsi
  8. Lain-lain: enselopati hipertensi, tumor otak, perdarahan intrakranial, idiopatik

Patofisiologi
            Patofisiologi kejang pada tingkat seluler berhubungan dengan terjadinya paroxysmal depolarization shift (PDS) yait depolarisasi potensial pasca sinaps yang berlangsung lama (50 ms). paroxysmal depolarization shift merangsang lepas muatan istrik yang berlebihan pada neuron otak dan merangsang sel neuron lain untuk melepaskan muatan listrik secara bersam-sama sehingga timbul hipereksitibilitas neuron otak.
paroxysmal depolarization shift diduga disebabkan oleh kemampuan membran sel melepaskan muatan listrik yang berlebihan, berkurangnya inhibisi oleh neurotransmiter asam gama amino butirat (GABA), atau meningkatnya eksitasi sinaptik neurotrasmiter glutamat dan aspartat melalui jalur eksitasi yang berulang.
            Pada pasien dengan epilepsi total, terdapat sekolompok sel neuron yang bertindak sebagai pacemarker lepasnya muatan listrik disebut sebagai fokus epileptikus. Sekelompok sel neuron ini akan merangsang sel sekitarnya untuk melepas muatan listriknya. Keadaan ini merupakan transisi fokal interiktal atau gelombang paku iktal pada elektroensefalografi. Menifestasi klinis bergantung pada luasnya sel neuron yang tereksitasi. Pasien epileptikus umum pembentukan gelombang paku  ombak terjadi pada struktur korteks. Terdapat penyebaran cepat proses eksitasi (spike) dan inhibisi (gelombang ombak) pada kedua hemisfer otak mulai jars kortikoretikular dan talamokortikal. Status epilepikus terjadi akibat proses eksitasi yang berlebihan berlangsung terus menerus yang diikuti oleh proses inhibisi yang tidak sempurna.





Perbedaan antara kejang dan serangan yang menyerupai kejang

Keadaan
Kejang
Menyerupai Kejang
Onset
Lama serangan
Kesadaran
Sianosis
Gerakan ekstremitas
Stereotipik serangan
Lidah tergigit atau luka lain
Gerakan abnormal bola mata
Fleksi pasif ekstremitas
Dapat diprovokasi
Tahanan terhadap gerakan pasif
Bingung pasca serangan
Iktal EEG abnormal
Pasca iktal EEG abnormal
Tiba-tiba
Detik/menit
Sering terganggu
Sering
Sinkron
Selalu
Sering
Selalu
Gerakan tetap ada
Jarang
Jarang
Hampir selalu
Selalu
Selalu
Mungkin gradual
Beberapa menit
Jarang terganggu
Jarang
Asinkron
Jarang
Sangat jarang
Jarang
Gerakan hilang
Hampir selalu
Selalu
Tidak pernah
Hampir tidak pernah
Jarang

ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK
Anamnesis dan pemeriksaan fisik ditujukan untuk menemukan peneyebab kejang. Untuk itu, anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang diarahkan pada penyebab kejang seperti yang telah disebutkan di atas. Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan pada penderita dengan kejang pertama adalah kadar glukosa darah, elektrolit, dan darah rutin, mengingat 3 penyebab tersering kejang pada anak kejang demam, infeksi, dan gangguan metabolik dan elektrolit.
Sekedar utnuk diketahui, International League Against Epilepsy of Epileptic Seizure (ILAE) pada tahun 1981 kengklasifikasi kejang menjadi beberapa klasifikasi yaitu:


I.     Kejang parsial (fokal, lokal)
Kejang berasal dari satu fokus neuron. Sesekali fokus terdapat pada lokasi kerusakan otak sebelumnya.
A. Kejang fokal sederhana (mengenai satu anggota tubuh tertentu saja dan
      kesadaran tidak terganggu)
B. Kejang parsial kompleks (mengenai satu atau lebih anggota tubuh dan
      kesadaran terganggu)
C. Kejang parsial yang menjadi umum (dari complex partial seizures lalu
      berkembang menjadi kejang pada seluruh tubuh dan kesadaran terganggu)
II. Kejang umum
A.    Absens
Hilangnya kesadaran yang berlangsung singkat (30 detik atau kurang) dan gejalanya hampir tidak nyata/jelas. Penderita tidak sampai jatuh ke tanah, biasanya tiba-tiba berhenti bergerak atau berbicara, tatapannya kosong dan tidak memberikan respons terhadap lingkungan sekitarnya. Saat serangan kejang usai, penderita kembali melakukan aktivitas normalnya tanpa mengetahui apa yang telah terjadi dan tidak mengingat episode kejangnya. Kejang jenis ini bukan disebabkan oleh kerusakan organik di otak dan kecerdasan serta perilaku anak tetap normal.  
B.  Mioklonik               
       Kedutaan-kedutaan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi mendadak. Sering terlihat pada orang sehat selama tidur, tetapi bila patologik, berupa kedutaan-kedutaan sinkron dari leher, bahu, lengan atas dan kaki. Umumnya berlangusung kurang dari 15 detik dan terjadi didalam kelompok.
C.  Tonik
Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi selaput otak atau kernikterus
D.  Klonik
Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
E.  Tonik-klonik
Serangan mayor secara klasik terdiri dari fase tonik (spasme otot Kontinu) yang mungkin diawali dengan teriakan, dan jika berlarut, bisa berlanjut menjadi sianosis: kemusian fase klonik (sentakan) yang dapat berhubungan dengan menggigit lidah dan mulut berbusa: kemudian relaksasi, kehilangan kesadaran, dan periode mengantuk/kebingungan. Anak-anak biasanya tertidur setelah serangan.
F.  Atonik
Hilangnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata turun, kepala menunduk atau  jatuh  ke tanah.. Singkat, dan terjadi tanpa peringatan.
III.    Tidak dapat diklasifikasi
Untuk penatalaksanaan kejang pada anak adalah sebagai berikut:
Ø  0 - 5 menit:
1.    Yakinkan bahwa aliran udara pernafasan baik
2.    Monitoring tanda vital, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan, berikan oksigen
3.   Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan umum dan neurologi secara cepat
4.   Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan tanda-tanda infeksi
Ø  5 – 10 menit:
1.        Pemasangan akses intarvena
2.        Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah rutin, glukosa, elektrolit
3.        Pemberian diazepam 0,2 – 0,5 mg/kgbb secara intravena, atau diazepam rektal 0,5 mg/kgbb (berat badan < 10 kg = 5 mg; berat badan > 10 kg = 10 mg).
4.        Dosis diazepam intravena atau rektal dapat diulang satu – dua kali setelah 5 – 10 menit.
5.        Jika didapatkan hipoglikemia, berikan glukosa 25% 2ml/kgbb.      
Ø  10 – 15 menit
1.      Cenderung menjadi status konvulsivus
2.      Berikan fenitoin 15 – 20 mg/kgbb intravena diencerkan dengan NaCl 0,9%
3.      Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5 – 10 mg/kgbb sampai maksimum dosis 30 mg/kgbb.
Ø  30 menit
1.      Berikan fenobarbital 10 mg/kgbb, dapat diberikan dosis tambahan 5-10 mg/kg dengan interval 10 – 15 menit.
2.      Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan, seperti analisis gas darah, elektrolit, gula darah. Lakukan koreksi sesuai kelainan yang ada. Awasi tanda tanda depresi pernafasan.
3.      Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim ke unit perawatan intensif.

DAFTAR PUSTAKA KEJANG
  1. Hendarto, S. 2005. Kejang Pada Anak. Yayasan Penerbit IDI Jakarta
  2.  Lumbantobing, S.M. 2005. Kejang Demam. Balai Penerbot FKUI, Jakarta
  3. Soetomenggolo. 2007. Kejang Demam dan Penghentian Kejang. Jakarta
  4. IDAI. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Badan Penerbit IDAI, Jakarta
  5. Pedoman Penatalaksanaan Madik Anak. 1991. RSUP dr. Sardjito PENULIS Srikaton Kantiani, Bagian Ilmu Penyakit Anak, RSUD Panembahan Senopati Bantul.
Ditulis Oleh : Eti Samriani S.Ked 
Dipublish Oleh : Veni Wulandari S.Ked


VULNUS

1 komentar

KEJANG PADA ANAK

Definisi
Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan atau otonom yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron otak. Keadaan tersebut adalah keadaan darurat. Kejang dapat bersifat sederhana dan berhenti sendiri atau memerlukan pengobatan. Namun, tidak jarang kejang berlangsung lebih dari 30 menit dan cenderung menjadi status epileptikus.
Status epileptikus sendiri adalah kejang yang terjadi lebih dari 30 menit atau kejang berulang lebih dari 30 menit tanpa disertai pemulihan kesadaran. Peningkatan aktivitas neuron pada saat kejang diduga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
  1. Kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan muatan listrik yang berlebihan.
  2. Berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat (GABA).
  3. Meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat melalui jalur eksitasi yang berulang
Etiologi
Hal pertama yang harus dikuasai saat menghadapi anak kejang adalah memastikan apakah keadaan tersebut adalah kejang atau bukan. Kemudian melakukan identifikasi kemungkinan penyebab kejang Adapaun beberapa penyebab kejang adalah sebagai berikut:
  1. Kejang demam
  2. Infeksi: meningitis, ensefalitis
  3. Gangguan metabolik: hipoglikemia, hiponatremia, hipoksemia,
  4. Hipokalsemia, gangguan elektrolit, defisiensi piridoksin, gagal ginjal, gagal hati, gangguan metabolik bawaan
  5. Trauma kepala
  6. Keracunan: alkohol, teofilin
  7. Penghentian obat anti epilepsi
  8. Lain-lain: enselopati hipertensi, tumor otak, perdarahan intrakranial, idiopatik

Patofisiologi
            Patofisiologi kejang pada tingkat seluler berhubungan dengan terjadinya paroxysmal depolarization shift (PDS) yait depolarisasi potensial pasca sinaps yang berlangsung lama (50 ms). paroxysmal depolarization shift merangsang lepas muatan istrik yang berlebihan pada neuron otak dan merangsang sel neuron lain untuk melepaskan muatan listrik secara bersam-sama sehingga timbul hipereksitibilitas neuron otak.
paroxysmal depolarization shift diduga disebabkan oleh kemampuan membran sel melepaskan muatan listrik yang berlebihan, berkurangnya inhibisi oleh neurotransmiter asam gama amino butirat (GABA), atau meningkatnya eksitasi sinaptik neurotrasmiter glutamat dan aspartat melalui jalur eksitasi yang berulang.
            Pada pasien dengan epilepsi total, terdapat sekolompok sel neuron yang bertindak sebagai pacemarker lepasnya muatan listrik disebut sebagai fokus epileptikus. Sekelompok sel neuron ini akan merangsang sel sekitarnya untuk melepas muatan listriknya. Keadaan ini merupakan transisi fokal interiktal atau gelombang paku iktal pada elektroensefalografi. Menifestasi klinis bergantung pada luasnya sel neuron yang tereksitasi. Pasien epileptikus umum pembentukan gelombang paku  ombak terjadi pada struktur korteks. Terdapat penyebaran cepat proses eksitasi (spike) dan inhibisi (gelombang ombak) pada kedua hemisfer otak mulai jars kortikoretikular dan talamokortikal. Status epilepikus terjadi akibat proses eksitasi yang berlebihan berlangsung terus menerus yang diikuti oleh proses inhibisi yang tidak sempurna.





Perbedaan antara kejang dan serangan yang menyerupai kejang

Keadaan
Kejang
Menyerupai Kejang
Onset
Lama serangan
Kesadaran
Sianosis
Gerakan ekstremitas
Stereotipik serangan
Lidah tergigit atau luka lain
Gerakan abnormal bola mata
Fleksi pasif ekstremitas
Dapat diprovokasi
Tahanan terhadap gerakan pasif
Bingung pasca serangan
Iktal EEG abnormal
Pasca iktal EEG abnormal
Tiba-tiba
Detik/menit
Sering terganggu
Sering
Sinkron
Selalu
Sering
Selalu
Gerakan tetap ada
Jarang
Jarang
Hampir selalu
Selalu
Selalu
Mungkin gradual
Beberapa menit
Jarang terganggu
Jarang
Asinkron
Jarang
Sangat jarang
Jarang
Gerakan hilang
Hampir selalu
Selalu
Tidak pernah
Hampir tidak pernah
Jarang

ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK
Anamnesis dan pemeriksaan fisik ditujukan untuk menemukan peneyebab kejang. Untuk itu, anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang diarahkan pada penyebab kejang seperti yang telah disebutkan di atas. Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan pada penderita dengan kejang pertama adalah kadar glukosa darah, elektrolit, dan darah rutin, mengingat 3 penyebab tersering kejang pada anak kejang demam, infeksi, dan gangguan metabolik dan elektrolit.
Sekedar utnuk diketahui, International League Against Epilepsy of Epileptic Seizure (ILAE) pada tahun 1981 kengklasifikasi kejang menjadi beberapa klasifikasi yaitu:


I.     Kejang parsial (fokal, lokal)
Kejang berasal dari satu fokus neuron. Sesekali fokus terdapat pada lokasi kerusakan otak sebelumnya.
A. Kejang fokal sederhana (mengenai satu anggota tubuh tertentu saja dan
      kesadaran tidak terganggu)
B. Kejang parsial kompleks (mengenai satu atau lebih anggota tubuh dan
      kesadaran terganggu)
C. Kejang parsial yang menjadi umum (dari complex partial seizures lalu
      berkembang menjadi kejang pada seluruh tubuh dan kesadaran terganggu)
II. Kejang umum
A.    Absens
Hilangnya kesadaran yang berlangsung singkat (30 detik atau kurang) dan gejalanya hampir tidak nyata/jelas. Penderita tidak sampai jatuh ke tanah, biasanya tiba-tiba berhenti bergerak atau berbicara, tatapannya kosong dan tidak memberikan respons terhadap lingkungan sekitarnya. Saat serangan kejang usai, penderita kembali melakukan aktivitas normalnya tanpa mengetahui apa yang telah terjadi dan tidak mengingat episode kejangnya. Kejang jenis ini bukan disebabkan oleh kerusakan organik di otak dan kecerdasan serta perilaku anak tetap normal.  
B.  Mioklonik               
       Kedutaan-kedutaan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi mendadak. Sering terlihat pada orang sehat selama tidur, tetapi bila patologik, berupa kedutaan-kedutaan sinkron dari leher, bahu, lengan atas dan kaki. Umumnya berlangusung kurang dari 15 detik dan terjadi didalam kelompok.
C.  Tonik
Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi selaput otak atau kernikterus
D.  Klonik
Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
E.  Tonik-klonik
Serangan mayor secara klasik terdiri dari fase tonik (spasme otot Kontinu) yang mungkin diawali dengan teriakan, dan jika berlarut, bisa berlanjut menjadi sianosis: kemusian fase klonik (sentakan) yang dapat berhubungan dengan menggigit lidah dan mulut berbusa: kemudian relaksasi, kehilangan kesadaran, dan periode mengantuk/kebingungan. Anak-anak biasanya tertidur setelah serangan.
F.  Atonik
Hilangnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata turun, kepala menunduk atau  jatuh  ke tanah.. Singkat, dan terjadi tanpa peringatan.
III.    Tidak dapat diklasifikasi
Untuk penatalaksanaan kejang pada anak adalah sebagai berikut:
Ø  0 - 5 menit:
1.    Yakinkan bahwa aliran udara pernafasan baik
2.    Monitoring tanda vital, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan, berikan oksigen
3.   Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan umum dan neurologi secara cepat
4.   Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan tanda-tanda infeksi
Ø  5 – 10 menit:
1.        Pemasangan akses intarvena
2.        Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah rutin, glukosa, elektrolit
3.        Pemberian diazepam 0,2 – 0,5 mg/kgbb secara intravena, atau diazepam rektal 0,5 mg/kgbb (berat badan < 10 kg = 5 mg; berat badan > 10 kg = 10 mg).
4.        Dosis diazepam intravena atau rektal dapat diulang satu – dua kali setelah 5 – 10 menit.
5.        Jika didapatkan hipoglikemia, berikan glukosa 25% 2ml/kgbb.      
Ø  10 – 15 menit
1.      Cenderung menjadi status konvulsivus
2.      Berikan fenitoin 15 – 20 mg/kgbb intravena diencerkan dengan NaCl 0,9%
3.      Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5 – 10 mg/kgbb sampai maksimum dosis 30 mg/kgbb.
Ø  30 menit
1.      Berikan fenobarbital 10 mg/kgbb, dapat diberikan dosis tambahan 5-10 mg/kg dengan interval 10 – 15 menit.
2.      Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan, seperti analisis gas darah, elektrolit, gula darah. Lakukan koreksi sesuai kelainan yang ada. Awasi tanda tanda depresi pernafasan.
3.      Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim ke unit perawatan intensif.

DAFTAR PUSTAKA KEJANG
  1. Hendarto, S. 2005. Kejang Pada Anak. Yayasan Penerbit IDI Jakarta
  2.  Lumbantobing, S.M. 2005. Kejang Demam. Balai Penerbot FKUI, Jakarta
  3. Soetomenggolo. 2007. Kejang Demam dan Penghentian Kejang. Jakarta
  4. IDAI. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Badan Penerbit IDAI, Jakarta
  5. Pedoman Penatalaksanaan Madik Anak. 1991. RSUP dr. Sardjito PENULIS Srikaton Kantiani, Bagian Ilmu Penyakit Anak, RSUD Panembahan Senopati Bantul.
Ditulis Oleh : Eti Samriani S.Ked 
Dipublish Oleh : Veni Wulandari S.Ked